Bantencorner’s Weblog


Ibu Guru Sujiyah, 28 Tahun Mengabdi di Ciboleger
November 2, 2007, 3:31 am
Filed under: Kisah

Tak Ingin Pulang Ke Tanah Leluhur 

Rumah berukuran sedang itu nyaris tak terawat. Langit-langitnya mulai lapuk terkena rembesan hujan. Juga perabotan seperti kursi, meja dan lemari, warnanya mulai pudar. Sedangkan tembok rumah yang bercat putih terlihat buram. Ada beberapa hiasan dinding tertempel, antara lain lukisan perempuan Jawa dan kalender dengan gambar wajah cantik seorang bakal calon (balon) gubernur. “Saya juga dapat ini,” kata Sujiyah (49), sambil memperlihatkan tiga buah gantungan kunci bergambar balon gubernur tadi tanpa menyebut pemberian siapa.

*** 

Hanya karena pengabdian dan rasa tangung jawablah, Sujiyah  mau bertahan dan menetap di Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Padahal, tahun 1978 adalah masa-masa yang begitu sulit. Dari Rangkasbitung saja harus ditempuh dalam waktu dua hari. Ditambah lagi dengan suasana Ciboleger yang masih rawan. Jika malam, gelap pekat karena belum ada listrik, penduduknya sedikit, dan jarak antara satu rumah penduduk dengan rumah penduduk yang lain begitu berjauhan.     

“Saya nyaris kembali ke Kulonprogo karena tak betah,” kata Sujiyah mengenang kembali masa 28 tahun yang lalu.  Tapi, keinginan pulang kampung itu kini telah sirna. Ia bahkan sudah berketetapan hati untuk menghabiskan masa hidupnya hanya di Ciboleger.

Sujiyah lahir 15 September 1957 silam di sebuah desa di Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta. Setamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada 1977, ia mengikuti program pengangkatan guru untuk ditempatkan di Jawa Barat. “Waktu itu Provinsi Jawa Barat kekurangan banyak guru SD. Saya ikut mendaftar bersama 2.500 orang lainnya. Semuanya dari Jogja,” kata Sujiyah dengan logat Jawanya yang masih kental.

April 1978, bersama ribuan tamatan SPG lainnya, Sujiyah diberangkatkan dengan menggunakan bus malam. Ada yang ditempatkan di Sukabumi, Cianjur dan daerah lainnya di Jawa Barat. Sedangkan Sujiyah ditempatkan di Kabupaten Lebak, tepatnya di kecamatan Leuwidamar. “Saya tak pernah membayangkan akan ditempatkan di lokasi yang begitu jauh dan terpelosok,” aku Sujiah.

Tiba di Rangkasbitung, Sujiyah dan rekan-rekannya disambut para pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Setelah beberapa hari tinggal di rumah kepala dinas, Sujiyah selanjutnya berangkat menuju medan pengabdian sesungguhnya; di Leuwidamar. “Saya harus berjalan kaki dan menyeberangi sungai Cisimeut,” urai Sujiyah tak mampu menyembunyikan kegetirannya.

Di Leuwidamar ia ditugaskan di SD Cibungur III yang lokasinya berbatasan dengan Kampung Kadu Ketug, salah satu kawasan Baduy Luar. Waktu itu, sekolah tersebut baru ada dua kelas. “Tak terbayang Pak, bagaimana susahnya mengajar di sana,” kata perempuan bersuamikan Syamsudin, warga asli Ciboleger yang berprofesi sebagai sopir di Bekasi.

Selain kondisinya yang masih apa adanya, tantangan lain yang dihadapi  adalah persoalan perbedaan budaya. Syukurnya, persoalan ini dapat teratasi karena kepala sekolahnya berasal dari Sumedang yang telaten mengajarinya terutama bahasa Sunda.Menurutnya, yang membuat dia tidak betah pada masa-masa awal tinggal di Ciboleger adalah kondisi geografisnya. Selain masih hutan, jarak antara rumah penduduk dengan rumah penduduk lainnya begitu berjauhan, belum lagi masyarakatnya yang suka membawa golok. Bahkan beberapa kali terjadi kasus kriminal seperti pembunuhan dan perampokan.

“Pernah, gaji seluruh guru se Kecamatan Leuwidamar dirampok. Saya sampai tidak gajian tapi untungnya segera diganti. Pokoknya kalau membayangkan kembali masa-masa awal dulu, ngeri Pak! Tapi, alhamdulillah saya betah-betahin terus,” ujar Sujiyah yang mengaku memperoleh gaji pertama sebesar 15 ribu rupiah setiap bulannya.  

Pada 1993, SD Cibungur III berubah nama menjadi SD Bojong Menteng III seiring dengan pemekaran desa. Dan setelah 18 tahun mengajar di SD tersebut, tepatnya tahun 1996, Sujiyah mendapat promosi menjadi kepala sekolah dan ditempatkan di SD Nayagati III dengan siswanya kebanyakan berasal dari komunitas Baduy Luar. Setahun kemudian, Sujiyah kembali dimutasi ke sekolah asal, SD Bojong Menteng III yang kini jumlah muridnya mencapai 400 orang lebih dengan lokal kelas yang bisa digunakan untuk kegiatan belajar mengajar hanya tiga unit, tiga unit lainnya sejak beberapa tahun yang lalu sama sekali tak lagi bisa dipakai.

Tentang pengalamannya mengajar selama hampir 30 tahun ini, Sujiyah bercerita panjang lebar. Menurutnya, kalau dirasakan, lebih banyak dukanya dibanding sukanya. Apalagi pada masa sekarang, terutama dari daya tangkap pelajaran serta sikap dan tingkah laku siswa.Disebutkan, kalau dulu siswa begitu tekun dan cepat menangkap mata pelajaran yang diberikan guru. Begitu juga soal sopan santun dan etika. “Sekarang susah. Murid-murid sulit menangkap pelajaran. Termasuk soal sopan santun. Ada guru di depan pun mereka nyelonong begitu saja,” kata ibu beranak satu ini.

Apa yang menyebabkan murid-murid berubah? Menurut Sujiyah, salah satu faktornya adalah karena tontonan televisi. “Anak-anak zaman sekarang lebih banyak menonton televisi ketimbang belajar,” katanya.

Duka lain yang dirasakan Sujiyah adalah sikap para orangtua yang cenderung menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada guru. Tapi, ketika ada anak yang karena prestasi belajar di sekolah jelek hingga tidak naik kelas, si orang tua dengan serta merta memarahi dan menyalahkan guru. “Sikap orangtua yang seperti itulah yang paling menyedihkan saya,” keluhnya.

Kendati begitu, ia mengaku berbahagia karena sudah ada beberapa muridnya yang sukses, di antaranya ada yang menjadi PNS dan polisi. “Ada murid saya namanya Pak Citra, sekarang sudah jadi guru dan jadi PNS. Juga ada Euis yang bekerja di Bappeda, lalu Yudi yang menjadi polisi, dan Julaeha yang menjadi guru bantu,” urai Sujiyah menyebut satu per satu mantan muridnya yang telah sukses berkarir.

***

Di usianya yang menjelang setengah abad ini, Sujiyah menyatakan tak punya keinginan macam-macam, termasuk keinginan untuk kembali ke Kulonprogo, tanah leluhurnya. Yang diinginkan justru tinggal lebih banyak di rumah dengan alasan capai. “Saya sudah capek dan ingin beristirahat,” katanya.

“Saya hanya ingin membesarkan anak saya satu-satunya, Eka, biar cepat lulus kuliah dan cepat mendapat pekerjaan,” katanya lagi. Eka Supriyadi adalah anak satu-satunya Sujiyah yang kini kuliah di STIE La Tansa Rangkasbitung.

Pada wajah perempuan murah senyum ini, memang terlihat gurat-gurat kelelahan. Sudah hampir 30 tahun ia bergulat dalam medan pengabdian yang membutuhkan kesabaran, ketelatenan, bahkan keyakinan. Dan, nyatanya ia berhasil bertahan.Kalau bukan Sujiyah, siapa yang mau bertahan dalam medan pengabdian seperti di Ciboleger yang sunyi dan sepi ini? ***


4 Komentar so far
Tinggalkan komentar

Tadi pagi di kantor saya buka-buka internet, ga sengaja saya buka web bantencorner, tidak sengaja saya membaca salah satu tulisan mengenai sosok guru yang begitu saya kenal.

Saya Lulusan SD cibungur 111 ( bojong menteng III) LULUSAN 1996, banyak sekali kenangan yang saya dapatkan selain pendidikan, guru”nya sangat baik salah satunya ibu Guru Sujiyah, beliau itu guru teladan, sangat penyabar, tidak pernah marah, hebat banget. saya bangga karena pernah di ajar sama beliau.

GuruQu..
Teriknya matahari tak kau hiraukan
Keringat mengucur membasahi seluruh tubuh
Langkah demi langkah tak pernah lelah
Menyusuri jalan-jalan tuk satu keinginan
Memberikan Ilmu kepada anak” tanpa mengharap balas jasa.

GuruQu..
Makasih karena telah sabar mendidik kami
Makasih karena senyuma selalu mengembang diantara raut kelelahan
Makasih untuk semua ilmu yang kami dapatkan
sehingga sekarang kami rasakan,

Yayahsofiana
alamat frienster
yayahsofiana@yahoo.com

Komentar oleh yayahsofiana

Oh iya mungkin ada temen-temen seangkatan saya masuk forum ini…

bisa buka friendster saya
yayahsofiana@yahoo.com
atau buka web http://yayahsofiana.blogs.friendster.com

Komentar oleh yayahsofiana

assalamu’alaykum ‘alaykum salam, guru merupakan rantai estafet kesuksesan siswa/i … salut buat ibu sujiyah yg dari kulon progo jogjakarta mengabdi di bojong menteng ciboleger. saya ada kawan di bojong menteng boleh jadi lulusan dari sekolah ibu, namanya momod bin hamim … mudah2an ibu sujiyah selalu sehat dan tetap terus semangat menciptakan generasi2 didikan berikutnya, amin … wassalam, arifudinrip@rocketmail.com hampura

Komentar oleh arifudin

Semangatmu mengajar kami semua tak kan pernah ku lupakan, begitu hebat pengorbananmu dan begitu penuh kesabaran menjalani semua ny, semoga ibu sujiyah selalu diberikan kesehatan dan umur yg panjang oleh allah SWT. (amiin) terimakasih guruku 🙂 …wasalam…

Komentar oleh Princss yantty




Tinggalkan komentar